Jumat, 11 November 2011

pangeran antasari


PANGERAN ANTASARI
Pangeran Antasari Museum Lambung Mangkurat.JPGPangeran Antasari (lahir di Kayu Tangi, Kesultanan Banjar, 1797atau 1809 – meninggal di Bayan Begok, Hindia-Belanda, 11 Oktober 1862 pada umur 53 tahun) adalah seorang Pahlawan Nasional Indonesia.
Ia adalah Sultan Banjar. Pada 14 Maret 1862, beliau dinobatkan sebagai pimpinan pemerintahan tertinggi di Kesultanan Banjar (Sultan Banjar) dengan menyandang gelar Panembahan Amiruddin Khalifatul Mukminin dihadapan para kepala suku Dayak dan adipati (gubernur) penguasa wilayah Dusuntas, Kapuas dan Kahayan yaitu
Tumenggung Surapati/Tumenggung Yang Pati Jaya Raja.

SILSILAH
Semasa muda nama beliau adalah Gusti Inu Kartapati. Ibu Pangeran Antasari adalahGusti Hadijah binti Sultan Sulaiman. Ayah Pangeran Antasari adalah Pangeran Masohut (Mas'ud) bin Pangeran Amir. Pangeran Amir adalah anak Sultan Muhammad Aliuddin Aminullah yang gagal naik tahta pada tahun 1785. Ia diusir oleh walinya sendiri, Pangeran Nata, yang dengan dukungan Belanda memaklumkan dirinya sebagai Sultan Tahmidullah II Pangeran Antasari memiliki 3 putera dan 8 puteri.  Pangeran Antasari mempunyai adik perempuan yang bernama Ratu Antasari alias Ratu Sultan Abdul Rahmanyang menikah dengan Sultan Muda Abdurrahman bin Sultan Adam tetapi meninggal lebih dulu sebelum memberi keturunan.



PEWARIS KERAJAAN BANJAR
Pangeran Antasari tidak hanya dianggap sebagai pemimpin Suku Banjar, beliau juga merupakan pemimpin Suku Ngaju, Maanyan, Siang, Sihong, Kutai, Pasir, Murung, Bakumpai dan beberapa suku lainya yang berdiam di kawasan dan pedalaman atau sepanjang Sungai Barito.
Setelah Sultan Hidayatullah ditipu belanda dengan terlebih dahulu menyandera Ratu Siti (Ibunda Pangeran Hidayatullah) dan kemudian diasingkan ke Cianjur, maka perjuangan rakyat Banjar dilanjutkan pula oleh Pangeran Antasari.[15] Sebagai salah satu pemimpin rakyat yang penuh dedikasi maupun sebagai sepupu dari pewaris kesultanan Banjar. Untuk mengokohkan kedudukannya sebagai pemimpin perjuangan umat Islam tertinggi di Banjar bagian utara (Muara Teweh dan sekitarnya), maka pada tanggal 14 Maret 1862, bertepatan dengan 13 Ramadhan 1278 Hijriah, dimulai dengan seruan:
Hidup untuk Allah dan Mati untuk Allah!
Seluruh rakyat, pejuang-pejuang, para alim ulama dan bangsawan-bangsawan Banjar; dengan suara bulat mengangkat Pangeran Antasari menjadi "Panembahan Amiruddin Khalifatul Mukminin", yaitu pemimpin pemerintahan, panglima perang dan pemuka agama tertinggi.[3]
Tidak ada alasan lagi bagi Pangeran Antasari untuk berhenti berjuang, ia harus menerima kedudukan yang dipercayakan oleh Pangeran Hidayatullah kepadanya dan bertekad melaksanakan tugasnya dengan rasa tanggung jawab sepenuhnya kepada Allah dan rakyat.

Ketokohan P. Antasari
P. Antasari sebagai tutus Kerajaan Banjar (Helius Sjamsuddin, 2002: 1) telah diangkat dan dikukuhkan oleh rakyat sebagai sebagai Kepala Agama Tertinggi dan diberi gelarPanambahan Amir Oedin Chalifatoel Mu’minin pada tanggal 13 Ramadhan 1278 H/14 Maret 1862, oleh sekalian tokoh pejuang Kalimantan (Kiai Dipati Djaja Radja, Raden Mas Warga Nata Widjaja, Temenggung Mangku Sari, Kepala di seluruh Teweh, Kapuas dan Kahajan, sekalian para haji, alim ulama dan pembesar Banjarmasin serta Martapura), sebagaimana ditulis Amir Hasan Bondan, dalam bukunya Suluh Sedjarah Kalimantan (1953: 59).
P. Antasari berhasil menjadi seorang tokoh yang selalu hidup, dikenang, dan dijunjung oleh masyarakatnya, ia menempatkan diri sebagai seorang pemimpin pejuang yang mendapatkan gelar tertinggi. Mengapa ia diberi kedudukan terhormat oleh masyarakatnya? Sehingga sampai sekarang kepribadian, perjuangan, semangat, dan petuahnya tetap diingat dan dikenang orang. Setidaknya ada tiga alasan mendasar mengapa P. Antasari dicintai dan diterima secara luas oleh rakyatnya.

walaupun ia seorang bangsawan dan memiliki hak terhadap tahta kerajaan Banjar namun dalam kehidupannya sehari-hari ia dikenal seperti layaknya masyarakat biasa. Ia dikenal sebagai seorang yang jujur dan sederhana, rendah hati, tidak ambisi, dan dekat dengan kehidupan masyarakat, sehingga ia disenangi dan disukai oleh masyarakat. Perasaan dan penderitaan rakyat yang dialami dan dilihatnya sendiri, komitmen yang kuat terhadap kehidupan rakyat dan dorongan untuk menyelamatkan negara dari campurtangan dan kekuasaan Belanda yang semakin menjadi-jadi pada akhirnya mendorong P. Antasari untuk mengangkat senjata, melakukan perlawanan dan berjuang untuk membela dan mengembalikan hak hidup rakyat yang aman, damai, dan sejahtera di negeri kelahiran mereka. Itulah sebabnya asumsi yang menyatakan bahwa Perang Banjar sebagai perang feodal untuk membela kaum bangsawan tidak bisa dibenarkan. Sebab Perang Banjar sesungguhnya adalah perang yang dikobarkan untuk membela agama dari kehancuran karena pengaruh budaya Barat yang merusak, perang membela rakyat dari belenggu penjajahan, dan perang untuk membela keutuhan bernegara dan berbangsa.

sebagai seorang Muslim yang taat dan dekat dengan golongan ulama, tuan-tuan guru, kepribadian dan jiwa P. Antasari banyak mendapatkan pengaruh dan tempaan dari nilai-nilai dasar agama yang diyakininya. Sehingga bermuara dari ketaatan dalam menjalankan ajaran agama inilah lahir semangat dan kekuataan yang luar biasa untuk berperang dan berjuang di bawah landasan agama, sehingga haram manyarah hukumnya menyerahkan segala perwalian, sistem pemerintahan, dan kedaulatan hidup kepada pemerintah Belanda yang tidak seakidah, walaupun harta, darah, dan nyawa taruhannya, waja sampai kaputing. Niscaya tidak akan berhenti tangan memegang senjata, kaki berlari, lisan memberi komando, teriakan Allahu Akbar menggema, kecuali waja sampai ka puting atau nyawa kembali kepada-Nya. Landasan moral agama begitu membaja dalam jiwa, sehingga tujuan tertinggi dari suatu perjuangan yang hendak diraihnya adalah ridha-Nya.


Karena itu wajar jika Karel Steenbrink (1989) menyatakan bahwa moral agama memiliki peran yang penting untuk mendorong semangat perlawanan masyarakat Banjar terhadap Belanda, sebagaimana yang terlihat pada: (1) gelar yang diberikan kepada P. Antasari, yakni Panembahan Amiruddin Khalifatul Mu’minin yang bercorak keagamaan dan mengandung arti sebagai pembela agama; (2) pemberontakan pertama terhadap Sultan Tamjidillah II yang terjadi daerah Amuntai di pusatkan di masjid Batang Balangan; (3) perjuangan Datu Aling di daerah Muning Rantau (Maret 1859) menggunakan pendekatan keagamaan untuk menarik dan memotivasi semangat juang rakyat, dan menjadikan masjid pula sebagai sentral perjuangan mereka; (4) perjuangan oleh rakyat daerah Amuntai dan sekitarnya bulan Oktober 1861 dipimpin oleh Penghulu Abdul Rasyid[3] juga dimotivasi oleh semangat keagamaan, bahkan dikenal sebagai peristiwa Baratib Beamal.[4] Ataupula pecahnya peristiwa Amuk Hantarukung tahun 1899 di Kandangan yang dipelopori dua bersaudara Bukhari dan Santar murid Gusti Mat Seman yang rajin mengamalkan zikir dan wirid, serta meneriakan pekik Allahu Akbar dalam perjuangan mereka; (5) tampilnya kalangan ulama di garda depan perjuangan seperti Penghulu Abdul Rasyid, Buhasin, Abdul Gani, Penghulu (Banua Lima), Haji Buyasin (Pelaihari), Gusti Mat Seman (Barito), dan lain-lain yang memberikan semangat, komando, dan nilai-nilai perjuangan Islam.

 P. Antasari memiliki nilai simbolis yang diperlukan oleh masyarakat, ia dipuja karena sifat-sifat unggulnya, sehingga pada akhirnya tidak ia tidak hanya menjadi idola masyarakat, akan tetapi juga sebagai model atau sosok teladan bagi masyarakat dalam membangun dan memperjuangkan kehidupan mereka. Ia telah diangkat oleh masyarakatnya menjadi pemimpin agama mereka (Panembahan Amiruddin KhalifatulMu’minin). Karena itu wajar jika perguruan tinggi agama Islam pertama dan tertua di bumi Kalimantan, Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Antasari mengabadikan namanya








PERLAWANAN TERHADAP BELANDA
http://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/thumb/4/43/1._ZM_Stoomschip_Celebes_in_gevecht_met_een_Kota_Mara_6_aug_1859_Poeloe_Kananat_opgenomen.jpg/300px-1._ZM_Stoomschip_Celebes_in_gevecht_met_een_Kota_Mara_6_aug_1859_Poeloe_Kananat_opgenomen.jpg
Perlawanan rakyat Banjar terhadap belanda dimulai pada saat Belanda mengangkat Tamjidillah sebaga Sultan Banjar yang menggantikan Sultan Adam yang wafat. Rakyat Banjar dan keluarga besar Kesultanan Banjar termasuk Pangeran Antasari, menuntut agar Pangeran Hidayatullah sebagai pewaris tahta yang sah Kesultanan Banjar yang harus duduk sebagai Sultan Banjar.

Sejak saat itulah Rakyat Banjar yang dipimpin oleh Pangeran Hidayatullah, Pangeran Antasari dan Demang Leman mengangkat senjata dan bahu membahu melawan Belanda yang terlalu banyak mencampuri urusan dalam negeri Kesultanan Banjar.

http://farm3.static.flickr.com/2690/4492383920_e1f45de64d.jpg
Pangeran Antasari berhasil menyerang dan menguasai kedudukan Belanda di Gunung Jabuk. Pangerang Antasari juga menyerang tambang batubara Belanda di Pangaron.Pejuang-pejuang Banjar juga berhasil menenggelamkan kapal Ontrust beserta pimpinannya Seperti Letnan Van der Velde dan letnan bangert. Peristiwa yang memalukan belanda ini terjadi atas siasat Pangeran Antasari dan Tumenggung Suropati.

Pada tahun 1860 Pangeran Hidayatullah berhasil ditangkap oleh Belanda dan dibuang ke CIanjur, Jawa Barat. Pangeran Antasari kemudian diberi tanggung jawab untuk mengendalikan perjuangan rakyat Banjar, dan ia digelari Panembahan Amiruddin Khalifatul Mu`min.

Sayangnya Pangeran Antasari wafat karena penyakit Cacar yang saat itu sedang mewabah , padahal Ia berencana menyiapkan serangan besar-besaran pada Belanda.
Atas jasa-jasanya, Ia diangkat sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional Oleh Pemerintah

Perang Banjar pecah saat Pangeran Antasari dengan 300 prajuritnya menyerang tambang batu bara milik Belanda di Pengaron tanggal 25 April 1859. Selanjutnya peperangan demi peperangan dipkomandoi Pangeran antasari di seluruh wilayah Kerajaan Banjar. Dengan dibantu para panglima dan pengikutnya yang setia, Pangeran Antasari menyerang pos-pos Belanda di Martapura, Hulu Sungai, Riam Kanan, Tanah Laut, Tabalong, sepanjang sungai Barito sampai ke Puruk Cahu.

Pertempuran yang berkecamuk makin sengit antara pasukan Khalifatul Mukminin dengan pasukan Belanda, berlangsung terus di berbagai medan. Pasukan Belanda yang ditopang oleh bala bantuan dari Batavia dan persenjataan modern, akhirnya berhasil mendesak terus pasukan Khalifah. Dan akhirnya Khalifah memindahkan pusat benteng pertahanannya di Muara Teweh.

Berkali-kali Belanda membujuk Pangeran Antasari untuk menyerah, namun beliau tetap pada pendirinnya. Ini tergambar pada suratnya yang ditujukan untuk Letnan Kolonel Gustave Verspijck di Banjarmasin tertanggal 20 Juli 1861.
...dengan tegas kami terangkan kepada tuan: Kami tidak setuju terhadap usul minta ampun dan kami berjuang terus menuntut hak pusaka (kemerdekaan)...
Dalam peperangan, belanda pernah menawarkan hadiah kepada siapa pun yang mampu menangkap dan membunuh Pangeran Antasari dengan imbalan 10.000 gulden. Namun sampai perang selesai tidak seorangpun mau menerima tawaran ini.[17] Orang-orang yang tidak mendapat pengampunan dari pemerintah Kolonial Hindia Belanda:[18]
1.     Antasari dengan anak-anaknya
2.     Demang Lehman
3.     Amin Oellah
4.     Soero Patty dengan anak-anaknya
5.     Kiai Djaya Lalana
6.     Goseti Kassan dengan anak-anaknya

 

Pangeran Antasari, Pahlawan Besar Nusantara

Kolonial Belanda memang licik, Sultan Hasanuddin, Raja Bone yang melawan, ditipu dengan perjanjian Bongaya, ia ditawan dan dibuang. Pangeran Diponegoro (Ontowiryo) juga ditipu dengan Perjanjian Linggarjati. Yang lain, Tuanku Imam Bonjol pun diperlakukan sama.
Para pejuang kebebasan dan kemerdekaan kainnya ; Raja Batak, Si Singamaraja, Teuku Umar, Pattimura (Thomas Matulessy), Wolter Monginsidi, yang tak mau berdamai dengan Kolonial Belanda, akibatnya adalah tewas.
Beberapa kerajaan di Nusantara yang melawan Kolonial Belanda, diserang dan kemudian dihapus, kecuali ada kerajaan di pulau Jawa yang hingga kini masih eksis.
Kerajaan Banjar di Kalimantan (Selatan), seorang keturunannya juga angkat senjata melawan Kolonial Belanda. Pangeran Antasari, keponakan Sultan Adam, Raja Banjar, dibantu rakyat Banjar melawan tentara penjajah. Perang Banjar yang hampir-hampir dilupakan dan tak dicatat dalam sejarah perjuangan di Nusantara ini, padahal dalam perang tersebut Kolonial Belanda mengalami kerugian besar dengan tenggelamnya sebuah kapal perang bernama “Onrust” di sungai Barito oleh pasukan Banjar.
Pangeran Antasari dengan gagah berani memimpin pasukan Banjar dengan semboyan “haram manyarah, waja sampai ka puting”, lebih rela wafat di hutan (Bayan Begok) digerogoti penyakit cacar ketimbang ditipu dengan perjanjian layaknya Sultan Hasanuddin dan Pangeran Diponegoro.
Setelah kemerdekaan, Pemerintah Orde Lama dan Orde Baru memperlakukan P. Antasari tak selayaknya para pejuang lainnya. Sejarah perjuangannya tak tercantum dalam buku PSPB, statusnya pun lama baru ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional.


















MENINGGAL DUNIA
250px-COLLECTIE_TROPENMUSEUM_Het_monument_in_Bandjermasin_dat_is_opgericht_ter_herdenking_van_de_tijdens_de_Bandjermasinse_Krijg_(1859-1863)_gesneuvelde_militairen_TMnr_60042550.jpgSetelah berjuang di tengah-tengah rakyat, Pangeran Antasari kemudian wafat di tengah-tengah pasukannya tanpa pernah menyerah, tertangkap, apalagi tertipu oleh bujuk rayu Belanda pada tanggal 11 Oktober 1862 di Tanah Kampung Bayan Begok, Sampirang, dalam usia lebih kurang 75 tahun. Menjelang wafatnya, beliau terkena sakit paru-paru dan cacar yang dideritanya setelah terjadinya pertempuran di bawah kaki Bukit Bagantung,Tundakan.[19] Perjuangannya dilanjutkan oleh puteranya yang bernama Muhammad Seman.[20]
Setelah terkubur selama lebih kurang 91 tahun di daerah hulu sungai Barito, atas keinginan rakyat Banjar dan persetujuan keluarga, pada tanggal 11 November 1958 dilakukan pengangkatan kerangka Pangeran Antasari. Yang masih utuh adalah tulang tengkorak, tempurung lutut dan beberapa helai rambut. Kemudian kerangka ini dimakamkan kembaliTaman Makam Perang Banjar, Kelurahan Surgi Mufti, Banjarmasin.
Pangeran Antasari telah dianugerahi gelar sebagai Pahlawan Nasional dan Kemerdekaan oleh pemerintah Republik Indonesia berdasarkan SK No. 06/TK/1968 di Jakarta, tertanggal 27 Maret 1968.[21] Nama Antasari diabadikan pada Korem 101/Antasari dan julukan untuk Kalimantan Selatan yaitu Bumi Antasari. Kemudian untuk lebih mengenalkan P. Antasari kepada masyarakat nasional, Pemerintah melalui Bank Indonesia (BI) telah mencetak dan mengabadikan nama dan gambar Pangeran Antasari dalam uang kertas nominal Rp 2.000


Tidak ada komentar:

Posting Komentar