Jumat, 11 November 2011

tuanku imam bonjol


Asal Usul Tuanku Imam Bonjol
Sewaktu Sutan Muning Syah II mangkat 1798, putra mahkota Rajo Alam Sutan Bagagar Syah masih berumur 9 tahun sehingga sang putra mahkota diperwalikan oleh paman beliau yang bergelar Muning Syah III hingga tahun 1803

Ketika itu Rajo Muning Syah III sedang menghadiri 40 hari wafatnya salah seorang kerabat raja di Koto Tangah Tanjuang Barulak, terjadi perselisihan kecil antara sesama kerabat dimana salah seorang diantaranya mengatakan bahwa acara ma-ampek puluah hari tersebut adalah tidak sesuai dengan Syariat tidak ada contohnya dari Rasulullah, perbedaan pendapat ini semakin memanas dan berkembang menjadi konflik pisik antara para dubalang dengan murid2 Tuanku Lintau dan selanjut dalam hitungan menit dengan cepat berkembang menjadi prahara yang ber-darah2 dan terbakarnya Istana Pagaruyuang

Putra Mahkota Yamtuan Sutan Bagagar Syah yang masih sangat belia itu bersama saudara perempuan-nya Yamtuan Puti Reno Haluih dan suaminya Yamtuan Sutan Sumbayang III yang menjabat sebagai Rajo Ibadat yang bermarkas di Sumpur Kudus di-ungsikan dimalam pekat itu ke Rantau Singingi (sekarang Kabupaten Kuantan Singingi Riau)

Sampai sekarang masih ada Istana Puti Tuanku Gadih di Kuantan Singingi bahkan sang Puti berkenan menurunkan ilmu silat kepada kaum hawa dilingkung istana yang sekarang kita kenal sebagai Silek Pangian

(Kalau berkenan silahkan ralat bahwa pengungsian tersebut bukan ke luhak 50 Koto)

Tuanku Imam Bonjol dilahir 1772 dan diberi nama Muhammad Shahab dari ibu yang bernama Hamatun yang orang Arab Hadramaut Yaman Selatan

Hamatun bersama saudara laki2nya As Sayid Usman sampai kedaerah Bonjol dalam rangka berda'wah dan berniaga

Karena Hamatun menikah dengan salah seorang kemenakan Datuak Tumangguang (suku Koto) maka oleh sang datuak sepasang suami istri yang baru menikah ini di-hibahkan sebidang tanah yang sekarang disebut Kampuang Koto di Bonjol, sedangkan Sayid Usman saudara Hamatun ditanah itu juga mendirikan surau / pesantren

Suami Hamatun (ayah Imam Bonjol) mendapat pendalaman agama Islam baik dari istri beliau sendiri maupun dari saudara istrinya Sayid Usman, adakah hubungan ayah Imam Bonjol dengan Istana Pagaruyuang dan siapakah namanya masih sedang di-sigi2
Yang jelas ketika Muhammad Shahab mengakhiri masa lajangnya dan dia harus diberi gelar, ketek banamo gadang bagala, ketek banamo Muhammad Shahab dek mamak urang Arab dan indak pulo berhak mewariskan gala mako dilakek-kan gala agamo "Tuanku Mudo Petho Syarif" yang kemudian sewaktu perang Padri digelarkan Tuanku nan di Bonjo
Tuanku Lareh nagari Bonjo nan banamo Na'ali Sutan Caniago menulis dalam bahasa Minangkabau beraksara Arab dalam catatan-nya disebutkan bahwa Tuanku Imam Bonjol wafat dan dikuburkan di Kampuang koto tanah kelahiran-nya sendiri, kitab naskah ini sekarang disimpan oleh Haji Qoharuddin dirumah kaum Caniago di Bonjol, foto kopinya pernah diserahkan oleh salah seorang kerabat Caniago yang bernama Zainul Anwar Jakarta kepada Dr. Priyono pakar sejarah yang juga pernah jadi menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI 1966-1975
Tuanku Imam Bonjol
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Tuanku Imam Bonjol
Gambar Tuanku Imam Bonjol oleh Hubert de Stuers(sekitar 1820)


Pemimpin Padri
Masa jabatan
k.
1821–k.1837


Lahir
1772
Bonjol
Meninggal
Kebangsaan
Agama
Tuanku Imam Bonjol 
(lahir di Bonjol, Pasaman, Sumatera Barat, Indonesia 1772 - wafat dalam pengasingan dan dimakamkan di Lotak, Pineleng, Minahasa, 6 November 1864), adalah salah seorang ulama, pemimpin dan pejuang yang berperang melawan Belanda dalam peperangan yang dikenal dengan nama Perang Padri di tahun 1803-1838.[1] Tuanku Imam Bonjol diangkat sebagai Pahlawan Nasional Indonesia berdasarkan SK Presiden RI Nomor 087/TK/Tahun 1973, tanggal 6 November 1973.[2]



Daftar isi
  [sembunyikan
·         1 Nama dan gelar
·         2 Riwayat perjuangan
·         4 Penghargaan
·         5 Rujukan
Nama dan gelar
Nama asli dari Tuanku Imam Bonjol adalah Muhammad Shahab, yang lahir di Bonjol pada tahun 1772. Dia merupakan putra dari pasangan Bayanuddin (ayah) dan Hamatun (ibu). Ayahnya, Khatib Bayanuddin, merupakan seorang alim ulama yang berasal dari Sungai Rimbang, Suliki, Lima Puluh Kota.[3] Sebagai ulama dan pemimpin masyarakat setempat, Muhammad Shahab memperoleh beberapa gelar, yaitu Peto Syarif, Malin Basa, dan Tuanku Imam. Tuanku nan Renceh dari Kamang, Agam sebagai salah seorang pemimpin dariHarimau nan Salapan adalah yang menunjuknya sebagai Imam (pemimpin) bagi kaum Padri di Bonjol. Ia akhirnya lebih dikenal dengan sebutan Tuanku Imam Bonjol.
Riwayat perjuangan
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Perang Padri
Tak dapat dimungkiri, Perang Padri meninggalkan kenangan heroik sekaligus traumatis dalam memori bangsa. Selama sekitar 18 tahun pertama perang itu (1803-1821) praktis yang berperang adalah sesama orang Minang dan Mandailing atau Batak umumnya.
Pada awalnya timbulnya peperangan ini didasari keinginan dikalangan pemimpin ulama di kerajaan Pagaruyung untuk menerapkan dan menjalankan syariat Islam sesuai dengan Ahlus Sunnah wal Jamaah (Sunni) yang berpegang teguh pada Al-Qur'an dan sunnah-sunnah Rasullullah shalallahu 'alaihi wasallam. Kemudian pemimpin ulama yang tergabung dalam Harimau nan Salapan meminta Tuanku Lintauuntuk mengajak Yang Dipertuan Pagaruyung beserta Kaum Adat untuk meninggalkan beberapa kebiasaan yang tidak sesuai dengan Islam (Bid'ah).
Dalam beberapa perundingan tidak ada kata sepakat antara Kaum Padri (penamaan bagi kaum ulama) dengan Kaum Adat. Seiring itu dibeberapa nagari dalam kerajaan Pagaruyung bergejolak, dan sampai akhirnya Kaum Padri dibawah pimpinan Tuanku Pasaman menyerangPagaruyung pada tahun 1815, dan pecah pertempuran di Koto Tangah dekat Batu Sangkar. Sultan Arifin Muningsyah terpaksa melarikan diri dari ibukota kerajaan ke Lubukjambi.
Pada 21 Februari 1821, kaum Adat secara resmi bekerja sama dengan pemerintah Hindia-Belanda berperang melawan kaum Padri dalam perjanjian yang ditandatangani di Padang, sebagai kompensasi Belanda mendapat hak akses dan penguasaan atas wilayah darek (pedalaman Minangkabau).[4] Perjanjian itu dihadiri juga oleh sisa keluarga dinasti kerajaan Pagaruyung di bawah pimpinan Sultan Tangkal Alam Bagagar yang sudah berada di Padang waktu itu.
Campur tangan Belanda dalam perang itu ditandai dengan penyerangan Simawang dan Sulit Air oleh pasukan Kapten Goffinet dan Kapten Dienema awal April 1821 atas perintah Residen James du Puy di Padang, Dalam hal ini Kompeni melibatkan diri dalam perang karena "diundang" oleh kaum Adat.
Perlawanan yang dilakukan oleh pasukan padri cukup tangguh sehingga sangat menyulitkan Belanda untuk menundukkannya. Oleh sebab itu Belanda melalui Gubernur Jendral Johannes van den Bosch mengajak pemimpin Kaum Padri yang waktu itu telah dipimpin oleh Tuanku Imam Bonjol untuk berdamai dengan maklumat Perjanjian Masang pada tahun 1824. Hal ini dimaklumi karena disaat bersamaan Batavia juga kehabisan dana dalam menghadapi peperangan lain di Eropah dan Jawa seperti Perang Diponegoro. Tetapi kemudian perjanjian ini dilanggar sendiri oleh Belanda dengan menyerang nagari Pandai Sikek.
Namun, sejak awal 1833 perang berubah menjadi perang antara kaum Adat dan kaum Paderi melawan Belanda, kedua pihak bahu-membahu melawan Belanda, Pihak-pihak yang semula bertentangan akhirnya bersatu melawan Belanda. Diujung penyesalan muncul kesadaran, mengundang Belanda dalam konflik justru menyengsarakan masyarakat Minangkabau itu sendiri. [5] Bersatunya kaum Adat dan kaum Padri ini dimulai dengan adanya kompromi yang dikenal dengan nama Plakat Puncak Pato di Tabek Patah yang mewujudkan konsensus Adat basandi Syarak, Syarak basandi Kitabullah (Adat berdasarkan Agama, Agama berdasarkan Kitabullah (Al-Qur'an)).
Rasa penyesalan Tuanku Imam Bonjol atas tindakan kaum Padri atas sesama orang Minang, Mandailing dan Batak, terefleksi dalam ucapannya Adopun hukum Kitabullah banyak lah malampau dek ulah kito juo. Baa dek kalian? (Adapun banyak hukum Kitabullah yang sudah terlangkahi oleh kita. Bagaimana pikiran kalian?). Penyerangan dan pengepungan benteng kaum Padri di Bonjol oleh Belanda dari segala jurusan selama sekitar enam bulan (16 Maret-17 Agustus 1837)[6] yang dipimpin oleh jenderal dan para perwira Belanda, tetapi dengan tentara yang sebagian besar adalah bangsa pribumi yang terdiri dari berbagai suku, seperti Jawa, Madura, Bugis, dan Ambon. Dalam daftar nama para perwira pasukan Belanda, terdapat Mayor Jendral Cochius, Letnan Kolonel Bauer, Mayor Sous, Kapten MacLean, Letnan Satu Van der Tak, Pembantu Letnan Satu Steinmetz. dan seterusnya, tetapi juga terda[at nama-nama Inlandsche (pribumi) seperti Kapitein Noto Prawiro, Inlandsche Luitenant Prawiro di Logo, Karto Wongso Wiro Redjo, Prawiro Sentiko, Prawiro Brotto, dan Merto Poero.Terdapat 148 perwira Eropa, 36 perwira pribumi, 1.103 tentara Eropa, 4.130 tentara pribumi, Sumenapsche hulptroepen hieronder begrepen(pasukan pembantu Sumenep, Madura). Serangan terhadap benteng Bonjol dimulai orang-orang Bugis yang berada di bagian depan dalam penyerangan pertahanan Padri.
Dari Batavia didatangkan terus tambahan kekuatan tentara Belanda, dimana pada tanggal 20 Juli 1837 tiba dengan Kapal Perle di Padang, Kapitein Sinninghe, sejumlah orang Eropa dan Afrika, 1 sergeant, 4 korporaals dan 112 flankeurs. Yang belakangan ini menunjuk kepada serdadu Afrika yang direkrut oleh Belanda di benua itu, kini negara Ghana dan Mali. Mereka juga disebut Sepoys dan berdinas dalam tentara Belanda.
Penangkapan dan pengasingan
Setelah datang bantuan dari Batavia, maka Belanda mulai melanjutkan kembali pengepungan, dan pada masa-masa selanjutnya, kedudukan Tuanku Imam Bonjol bertambah sulit, namun ia masih tak sudi untuk menyerah kepada Belanda. Sehingga sampai untuk ketiga kali Belanda mengganti komandan perangnya untuk merebut Bonjol, yaitu sebuah negeri kecil dengan benteng dari tanah liat yang di sekitarnya dikelilingi oleh parit-parit. Barulah pada tanggal 16 Agustus 1837, Benteng Bonjol dapat dikuasai setelah sekian lama dikepung.
Dalam bulan Oktober 1837, Tuanku Imam Bonjol diundang ke Palupuh untuk berunding. Tiba di tempat itu langsung ditangkap dan dibuang ke Cianjur, Jawa Barat. Kemudian dipindahkan ke Ambon dan akhirnya ke Lotak, Minahasa, dekat Manado. Di tempat terakhir itu ia meninggal dunia pada tanggal 8 November 1864. Tuanku Imam Bonjol dimakamkan di tempat pengasingannya tersebut.

Penghargaan
Perjuangan yang telah dilakukan oleh Tuanku Imam Bonjol dapat menjadi apresiasi akan kepahlawanannya dalam menentang penjajahan,[7]sebagai penghargaan dari pemerintah Indonesia yang mewakili rakyat Indonesia pada umumnya, Tuanku Imam Bonjol diangkat sebagaiPahlawan Nasional Indonesia sejak tanggal 6 November 1973.
Selain itu nama Tuanku Imam Bonjol juga hadir di ruang publik bangsa sebagai nama jalan, nama stadion, nama universitas, bahkan pada lembaran Rp 5.000 keluaran Bank Indonesia 6 November 2001.[8]















TUGAS
MAKALAH
IPS
TUAN KU IMAM BONJOL


DISUSUN OLEH

AI JULFAH
HILMAN HIDAYATULOH
MMI
RIKA RISMAWATI
WANDA LAELASARI
NENDAH MALINDA

KELAS 8 A

MTs MUSLIMIN CIPONGKOR
KABUPATEN BANDUNG BARAT

Tidak ada komentar:

Posting Komentar